Saya ingin mengulangi
sekali lagi, bahwa sukses yang sejati adalah sebuah adalah perjalanan yang
panjang dalam hidup ini. Sukses adalah sebuah proses yang terus menerus hingga
kita meninggalkan dunia ini dan menghadap hadirat Allah. Jadi, sukses bukanlah
sebuah “hasil” atau sebuah “kejadian khusus” dalam waktu tertentu, atau sebuah
“keberuntungan” yang ditunggu-tunggu kehadirannya.
Perlu dicatat juga bahwa
dalam perjalanan panjang kesuksesan ini tidaklah ada jaminan bahwa segala
sesuatu selalu berjalan lancar, mulus, dan tanpa rintangan, tantangan,
kesulitan, atau kesusahan. Justru seringkali ada banyak hal yang akan
menghalangi atau menjegal kita dalam perjalanan panjang itu. Terlebih lagi,
sebagai orang yang percaya ada “ranjau-ranjau” yang mencoba menjatuhkan kita.
Pada umumnya “ranjau-ranjau” itu dapat dikategorikan menjadi tiga hal yang
bersumber dari:
- Iblis dan antek-anteknya yang menantikan
hari pemusnahan mereka, masih mencari kesempatan untuk menarik sebanyak
mungkin manusia agar hidup dalam dosa dan melawan kehendak Allah.
- Dunia yang sudah tercemar oleh dosa dan
dikuasai si Jahat mencoba dengan segala kemewahannya, kekayaan materinya,
kenikmatan nafsunya, dan keangkuhannya untuk mengajak manusia melampiaskan
segala nafsu kedagingan, keserakahan, dan perbuatan-perbuatan yang melawan
Firman Allah.
- Diri sendiri yang sering disebut dengan “Si
Adam yang lama” atau “natur yang lama” atau “keakuan/ hidup yang lama”
yaitu ‘hidup kedagingan’ kita sebelum diselamatkan oleh Kristus,
seringkali masih mengajak kita kembali kepada hidup yang lama -- falsafah/
ide, pemikiran, emosi, karakter, kebiasaan, dan perbuatan yang melanggar
Firman Allah – yang mendukakan Roh Kudus dan yang menjerat kita melakukan
dosa dan kejahatan.
Sebab
itu, kita harus berhati-hati dan waspada agar tidak terjebak dalam
“ranjau-ranjau” diatas, sehingga perjalanan sukses kita terhambat, atau
tersesat, atau tidak fokus, atau menyimpang, atau terjatuh, dan
akhirnya gagal sama sekali. Untuk itu kita perlu belajar “ tujuh langkah perjalanan
sukses” yang memberikan kita kunci utama untuk menjalani perjalanan ini dengan
mantap dan berhasil baik.
1. Merancang Pertumbuhan Setiap Hari:
Sudah dibahas bahwa sukses itu bukanlah ibarat
orang membeli ‘lottery’ dan menunggu ‘keberuntungan’ (luck) itu datang secara
mengejutkan. Anda tidak perlu menunggu kapan sukses itu akan datang. Sukses
juga bukan sebuah ‘tempat, hal atau tujuan’ yang akan dicapai pada waktu (usia)
tertentu. Melainkan sesuatu yang sudah disediakan oleh Tuhan setiap hari.
Ibarat ‘tangga’ yang harus didaki. Jika tidak, takkan mungkin tiba di tempat
yang lebih tinggi. Ibarat ‘jalan’ yang harus dijalani. Bila tidak, tidak mungkin
akan lebih maju. Ibarat ‘buah-buah matang’ yang harus dipetik setiap hari. Bila
tidak, akan membusuk dan rusak. Ibarat ‘pekerjaan’ yang harus diselesaikan
setiap hari. Bila tidak, akan tertunda dan terbengkalai.
Dengan lain perkataan, sukses itu adalah
perjalanan sehari-hari dengan segala aspek permasalahannya. Sebab itu langkah
pertama perjalanan sukses yang sejati adalah merancang dengan baik pertumbuhan
setiap hari. Rasul Paulus menuliskan Firman Tuhan kepada jemaat Kolose, “Kamu
telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di
dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia,
hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan
hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” (Kolose 2:6-7). Artinya, bahwa
sebagai orang yang percaya, yang sudah diselamatkan Kristus, janganlah kita
menyia-nyiakan hidup ini, melainkan ibarat pohon haruslah terus berakar lebih
dalam, bertumbuh lebih besar dan tinggi, berdaun lebih rindang, dan berbuah
lebih lebat. Ya, suatu perjalanan pertumbuhan yang terus menerus tanpa
berhenti. Berhenti sesungguhnya sama dengan mundur, sebab waktu yang ada dalam
hidup ini terus bergerak maju.
Jangan
tunggu “inspirasi” atau “ilham” datang, barulah mulai kerja keras dan belajar. Jangan pula memanjakan “perasaan” – kalau marasa
enak baru lebih giat dan kerja keras. Tetapi mulailah merencanakan pertumbuhan
itu setiap hari – dalam semua aspek hidup yang Tuhan sudah berikan. Baik dalam
karier, studi, relasi keluarga dan dengan sesama, finansial, pengetahuan
(rasio), emosi/kejiwaan, dan aspek spiritual. Termasuk juga dalam hal-hal lain
yang membuat relax pun tidak kalah pentingnya untuk direncanakan dan dilakukan
dengan teratur. Misalnya: waktu untuk bermain dengan keluarga, olah raga,
piknik, dan lain sebagainya.
Beberapa langkah praktis yang dapat saya usulkan
bagi Anda adalah:
A. Mulailah dari diri sendiri! Artinya jangan tunggu orang lain yang memulainya dulu, atau cari
rekan untuk
memulai,
atau lihat dulu pengalaman orang lain, atau alasan lain untuk tidak memulainya
dari diri sendiri. Misalnya:
menabung
dengan rutin. Jangan tunggu orang lain yang membujuk atau memaksa, baru mau
pergi ke bank.
Tetapi mulailah dulu dengan diri sendiri.
B. Mulailah sedini mungkin! Artinya Hari Ini juga atau Sekarang juga. Jangan tunggu besok dan
besok
dan besok
dan besok dan besok yang tidak habis-habisnya. Menunda-nunda adalah sebiah
kemalasan.
Dan kemalasan adalah dosa. Misalnya: menabung
dengan rutin tadi, Hari Ini atau Sekarang juga!
Ya. Stop baca buku ini! Sekarang juga pergi ke
bank untuk menabung.
C. Mulailah dari yang sederhana! Artinya mulai dari yang kecil dan mudah dilakukan.
Misalnya: menabung dengan rutin tadi. Jangan
tunggu ada sejumlah uang yang banyak baru mulai menabung.
Tetapi mulailah dari yang ada.
Katakanlah Anda menabung Rp.1000,- sehari,
maka dalam setahun Anda sudah menabung
Rp.365.000,- plus bunga lagi. Lumayan kan?
D. Mulailah dengan teratur! Artinya rapi, rutin, dan terorganisasi dengan baik.
Jangan sampai tergoda oleh hal-hal lain yang
membuat pertumbuhan itu terhenti.
Misalnya: menabung dengan rutin tadi. Ingat,
setiap hari sisihkan Rp.1000,- untuk ditabung.
Jangan biarkan keinginan lain untuk membatalkan
pertumbuhan tabungan Anda, misalnya:
ingin
beli permen atau beli sesuatu yang lain yang tidak “emergency”
yang pasti akan menghalangi pertumbuhan Anda.
Contoh diatas mengenai ‘menabung dengan rutin’ hanyalah
sebuah contoh sederhana saja. Keempat langkah praktis tadi bisa Anda pakai
dalam aspek-aspek lainnya. Misalnya: membaca Alkitab, berdoa, berolah raga,
membaca buku, mendengarkan musik, bermain dengan keluarga, membangun
persahabatan dengan sesama, pelayanan di gereja, berorganisasi di masyarakat,
berlibur, dan lain sebagainya. Intinya hanya satu. Bertumbuh secara teratur
setiap hari sesuai dengan rancangan yang seimbang dan baik.
2. Pergunakan Waktu Dengan Bijaksana:
Langkah kedua dalam perjalanan sukses yang
sejati adalah mempergunakan waktu dnegan bijaksana. Rancangan pertumbuhan yang
dibahas pada poin nomor satu diatas sangat erat hubungannya dengan
mempergunakan waktu dengan bijaksana ini. Salah satu kunsi sukses dari
orang-orang sukses di dunia ini adalah soal mengatur waktu dengan bijaksana.
Mereka yang sukses di dunia dan di akhirat tahu jelas dalam membedakan mana
yang penting dan yang bernilai abadi.
Dalam hidup kita ada empat kategori hal yang dihadapi
setiap hari. Bila kita tidak bjaksana dalam mengatur waktu dan memiliki
prioritas yang benar, pastilah hidup kita kacau, berantakan, stress, frustrasi,
depresi, dan akhirnya gagal. Perhatikan empat kategori dibawah ini:
A. Hal yang penting
dan mendesak. Misalnya: ayah sakit keras, ujian pada esok hari, proyek
yang harus diserahkan nanti sore, istri harus melahirkan, anak ditangkap
polisi, suami kena serangan jantung, dan hal-hal darurat (‘emergency’) lainnya.
Biasanya, untuk hal-hal ini mau tidak mau – tidak ada pilihan, pastilah kita
sediakan waktu kita, dan meninggalkan kegiatan rutin kita. Karena memang
‘emergency’.
B. Hal yang penting tidak mendesak. Misalnya:
membangun komunikasi dengan anggota keluarga, olah raga yang rutin, baca
Alkitab, berdoa ibadah, pelayanan, menemani anak bermain, dan hal-hal lain yang
sering ditunda-tunda. Biasanya karena
dianggap tidak mendesak – akibatnya juga dianggap tidak penting! Akibatnya,
kita sedikit sekali menyediakan waktu untuk hal ini, padahal sangat penting.
Lama kelamaan, karena tidak ada waktu terus untuk hal B ini, tiba saatnya,
ibarat ‘bom waktu’ ia berubah menjadi hal A (‘emergency’) yang
berbahaya, namun sudah terlambat. Misalnya: tidak menjaga makanan dan tidak mau
olah raga teratur, akhirnya kena ‘stroke’; barulah mulai rajin dan rutin olah
raga dan menjaga makan dengan baik. Atau anak sudah kena ‘narkoba’ barulah
menyesal selama ini tidak membangun komunikasi yang baik dan tidak pernah
beribadah dan berdoa.
C. Hal yang tidak
penting tapi mendesak. Misalnya: dering telepon entah dari
penjaja lewat telephone atau dari teman yang iseng mengajak gossip, ‘bell’ di
pintu depan, ajakan ngobrol ngalor ngidul (ngerumpi), atau hal-hal lain yang
menginterupsi dan meminta kita respons segera. Sesunggunya hal C ini tidak
perlu disediakan waktu yang banyak, atau bila perlu dihindarkan. Namun,
seringkali manusia terjebak dengan hal C ini. Karena ia mendesak – walaupun
tidak penting – misalanya telephone ajak ngerumpi, ternyata dilayani hingga
berjam-jam lamanya. Akibatnya, waktu untuk hal yang penting diatas (hal B)
terambil oleh hal C ini.
D. Hal yang tidak
penting dan tidak mendesak. Misalnya: internet/ nonton TV lama-lama,
bermain video game seharian, melamun/ menghayal yang tidak-tidak, membaca
majalah atau buku yang tidak membangun, gossip, berleha-leha di ‘shopping
mall’, nongkrong di kedai kopi, dan hal-hal lainnya yang tidak bermanfaat sama
sekali, hanya membuang-buang waktu. Manusia yang tidak bijaksana akan
menghabiskan waktunya untuk hal-hal D ini. Demikian pula dengan manusia yang
tidak merencanakan waktunya dengan baik akan terjebak membuang-buang waktunya
untuk hal-hal D ini. Hati-hatilah!
Anto
adalah tipe manusia yang sibuk luar biasa. Setiap hari
dia diperhadapkan kepada hal-hal yang urgen (mendesak) misalnya: proyek yang
mencapai ‘deadline’, telepon yang tidak henti harus dijawab, lobby dengan orang
berpengaruh, mengatur strategi marketing, rapat dengan atasan, berbagai jamuan
‘entertainment’ dengan rekan bisnis dan mengejar target proyek berikutnya.
Secara tidak sadar, dia telah menjadikan dirinya “pahlawan” yang serba bisa dan
luar biasa. Hingga suatu hari, seusai makan malam dengan rekan bisnisnya, dia
merasakan sakit di dadanya. Kurang dari satu menit, dia ambruk. Segera dia
dilarikan ke rumah sakit. Ternyata dia kena stroke, dan dokter mengharuskan dia
operasi ‘bypass’ dan rawat inap. Ketika keluarganya diberitahu, anaknya, Joko menjawab
di telepon: “Maaf papa, saya lagi sibuk dengan tugas sekolah dan ujian yang
urgen (mendesak). Tidak sempat pulang
melihat papa.” Istrinya telepon dari Paris: “Maaf sayang, saya lagi mencarikan
pakaian pengantin Nonik. Ini urgen (mendesak). Nonik dan saya baru bisa balik
minggu depan.”
Pada saat kritis itulah,
Anto baru sadar apa bedanya antara “Yang Penting” dan “Yang Urgen”. Jelaslah
bahwa keluarga dan kesehatan jauh lebih penting daripada hal-hal rutin lainnya
yang setiap hari tidak akan pernah berakhir, yang selalu mendesak (Urgen).
Memang yang ‘Urgen’ selalu ‘berteriak-teriak’ ingin menyita waktu kita.
Sedangkan yang ‘Penting’ nampaknya lebih tenang, diam, dan menanti kapan kita
membagikan waktu kepadanya. Hati-hatilah! Jangan-jangan ketika kita sibuk
menyelesaikan yang urgen, kita pikir sudah melakukan hal yang benar dan tepat.
Padahal ada banyak hal penting (keluarga, kesehatan jasmani dan rohani) yang
sudah kita abaikan, dan kita sedang dalam bahaya! Jangan tunggu sampai waktu
kritis tiba, barulah sadar membedakan manakah yang penting dan manakah yang
urgen. Pada waktu itu, menyesalpun sudah terlambat!
Orang
yang bijaksana dalam mengatur waktunya, adalah orang yang tahu membuat
prioritas dengan baik dan benar. Berprioritas bukanlah memberi urutan
kepentingan dalam hal-hal nyang ada dalam hidupnya. Jangan bertanya mengasihi
Tuhan dan mengasihi keluarga dan sesama mana lebih penting? Jangan tanya mana nomor satu dan mana nomor dua? Ingatlah
ajaran Tuhan Yesus bahwa kedua-duanya sama pentingnya (bacalah: Matius
22:37-40).
Berprioritas
berarti kita tahu mengatur/merencanakan pengunaan waktu kita – yang sehari 24
jam itu -- dengan baik dan bijaksana untuk melakukan hal-hal yang penting
tetapi tidak mendesak (no.B) sehingga tidak mengalami stress, bingung, dan
kewalahan ketika hal penting menjadi mendesak (emergency).
Berprioritas
juga berarti kita tahu memperlakukan hal yang tidak penting, baik mendesak atau
tidak (no.C dan no.D) dengan memberikan perhatian dan waktu sesedikit mungkin. Bila perlu untuk hal D, jangan sediakan waktu sama
sekali.
Berprioritas
juga berarti tahu menangkap kesempatan untuk “berbuat sesuatu” dalam hal
penting dan mendesak (no.A) bukan hanya untuk menolong anggota keluarga
sendiri, melainkan juga menolong orang lain. Karena seringkali kesempatan untuk
berbuat baik itu tak pernah terulang kembali. Contohnya: Yusuf Arimatea dan
Nikodemus yang mencari kesempatan untuk meminta mayat Yesus dan dikuburkan
dalam kuburan baru milik Yusuf Arimatea telah berhasil berprioritas tepat
bahkan menanamkan “sesuatu yang bernilai kekal” karena mereka melakukannya “bagi
Yesus Kristus”.
Henry
Kaiser adalah seorang pemilik dan pendiri perusahaan aluminum “Kaiser” dan juga
pendiri “Kaiser Permanente Health Care”, rumah sakit dalam jumlah yang cukup
banyak dan asuransi kesehatan yang telah membantu banyak orang di Amerika. Dia
dapat dikategorikan sebagai orang yang sukses pada bidangnya dan juga hal-hal
lain dalam hidupnya yang cukup banyak menjadi ‘berkat’ bagi masyarakat luas.
Dia pernah mengatakan: “Setiap
menit yang dikerjakan dengan rencana yang bijaksana, akan menolong engkau dua
kali dalam setiap pengambilan keputusan. Engkau tidak dapat meraih waktu yang
sudah terhilang; sebab itu pergunakanlah setiap waktu yang ada dengan
maksimal.”
Rasul Paulus dalam
suratnya kepada jemaat Efesus mengingatkan mereka agar menggunakan waktu dengan
bijaksana. “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu
hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan
pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu
janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.”
(Efesus 5:15-17). Sampai dua kali Paulus menegur dengan keras.
Bahwa mereka yang tidak bijak/ arif menggunakan waktu disebutnya “bodoh” dan
“bebal”. Kata “bebal” lebih keras daripada kata “bodoh”. Dosen saya berkata
secara humoris; “Bodoh itu ibarat kerbau (yang mau dicucuk hidungnya dan
ditarik kemana-mana), lalu bebal itu ibarat kerbau yang bodoh.” Jadi,
kebodohannya berlipat ganda (ha ha ha).
Istilah “pergunakanlah”
dalam ayat diatas mengandung dua pengertian yaitu:
- “Menebus kembali” artinya kita diajak berpikir adakah
waktu-waktu lalu kita terbuang dengan sia-sia; ketika kita belum menganal
Kristus. Pikirkan itu dan rencanakan di waktu-waktu sekarang untuk
‘menebus’nya kembali agar bisa memperoleh nilai-nilai yang bersifat abadi.
Misalkan: dahulu Anda pernah menghabiskan 2 tahun untuk berjudi dan
sia-sia. Kini, bukan saja perlu bertobat, tetapi minmal gunakanlah 2 tahun
untuk menolong teman-teman Anda yang masih terikat dengan perjudian.
Pekerjaan ini sungguh mulia dan menghasilkan nilai-nilai kekal, ibarat
‘tabungan’ di sorga.
- “Memborong Sebanyak Mungkin” artinya kita diajak untuk bijak
menggunakan ‘kesempatan’ yang ada, yang seringkali tidak terulang kembali
untuk melayani pekerjaan Tuhan yang bernilai abadi. Sebab ketika kita
meninggal, atau kedatangan Kristus kedua kalinya pada hari kiamat akan
menutup semua kemungkinan untuk melayani dan ‘berbuah’ bagi Kristus dan
KerajaanNya. “Memborong sebanyak mungkin” artinya memakai dan mencipatakan
kesempatan sebanyak mungkin ketika masih di dunia ini. Mengapa? Karena
“hari-hari ini adalah jahat” artinya, si Jahat (Iblis) dan antek-anteknya
pun setiap hari mencoba dengan sekuat tenaganya, strateginya, dan kelicikannya
untuk memborong waktu-waktu kita agar kita gunakan untuk hal-hal yang
sia-sia dan tidak bermanfaat.
Sebab itu, beranilah ‘bermimpi di siang hari’, artinya
“bercita-cita tinggi dan besar”. Bukan untuk kesenangan diri,
melainkan untuk Kerajaan Allah – untuk kemuliaan Allah dan untuk menjadi berkat
bagi banyak orang. Lakukanlah pekerjaan pekabaran Injil dan pemuridan yang
membangun orang lain agar menjalani perjalana sukses di dunia dan di akhirat
ini juga. Suatu perjalanan sukses hingga bertemu dengan Tuhan, Sang Pencipta,
Juruselamat, Hakim segala hakim, dan Raja segala raja, Yesus Kristus di akhirat
nanti.
3. Rela Membayar Harga Yang Mahal:
Langkah ketiga dalam
perjalanan sukses adalah rela membayar harga mahal demi nilai-nilai abadi, yang
kita lakukan dalam Nama Kristus yang menyelamatkan kita, dan demi kepentingan
orang lain – mengasihi sesama sebagai wujud nyata mengasihi Tuhan Allah. Tuhan
Yesus berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia
harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa
mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa
kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat
diberikannya sebagai ganti nyawanya? Sebab Anak Manusia akan datang dalam
kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas
setiap orang menurut perbuatannya.” (Matius 16:24-27). Perjalanan
sukses yang panjang bukanlah perjalanan yang mudah dan ‘murah’. Sebaliknya ada
harga mahal yang perlu dibayar. Hukum dunia mengajarkan: “Engkau mendapatkan
apa yang engkau bayar.” Jika engkau membayar murah, engkau akan mendapatkan
barang murahan, kualitas rendahan. Sebaliknya, barang yang bermutu dan baik
biasanya mahal harganya. Sama halnya dengan perjalanan sukses ini. Hanya orang
yang rela membayar harga mahal yang akan menikmati sukses yang sejati sepanjang
perjalanannya.
Rasul Paulus menangkap
pengajaran Tuhan Yesus, dan sepanjang hidup dan pelayanannya, kita menyaksikan
bahwa dia telah rela membayar ‘harga mahal’ berani mengambil ‘resiko besar’ dan
siap ‘mempertaruhkan nyawanya’ demi Kristus dan FirmanNya, demi Kerajaan Sorga
dan demi menjadi berkat bagi banyak orang. Dia kemudian menuliskan kepada
jemaat Filipi supaya mereka pun belajar dalam kebenaran ini, yaitu “dengan
tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya
hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari
pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan
kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu
dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam
Kristus Yesus.” (Filipi 2:3-5).
Orang yang sukses adalah
orang yang berani berkata “tidak” untuk kesenangan diri, dan berkata “ya”
kepada kehendak Tuhan walaupun kelihatannya harus berkorban, dan membayar
‘harga mahal’. Ada pepatah yang berkata: “Berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang
kemudian.” Artinya kita hatrus berani mengorbankan kesenangan diri
(menderita dahulu) demi mendapatkan kesempatan dan berkat yang lebih baik dan
lebih tinggi nilainya (berbahagia kemudian). Dengan kata lain, orang yang
berani membayar “harga mahal” terlebih dahulu, kelak ia akan memetik hasil yang
lebih indah, dan “upah” yang lebih besar dan mulia.
Hidup di dunia
seringkali ibarat orang yang “berdagang” dan ada keputusan yang harus diambil
dengan resikonya masing-masing. Keadaan kritis seringkali datang pada saat-saat
yang tidak bisa kita duga dan kita berada di persimpangan jalan untuk segera
mengambil keputusan. Pertanyaannya, beranikah kita mengambil keputusan dengan
resiko tinggi dan harga yang mahal? Kalau ya, apa dasarnya dan apa
prinsipnya yang baik, benar dan tepat dalam pengambilan keputusan
tersebut? Orang yang sukses adalah orang yang berani “berdagang”
(“trade”) untuk kesuksesan yang lebih tinggi nilainya, yang kekal nilainya
(bukan sesuatu yang lebih ‘rendah’ yang bersifat duniawi dan sementara),
walaupun dalam hal-hal materi dan duniawi seringkali dianggap rugi. Artinya,
dasar pertimbangan yang baik, benar, dan tepat adalah kebenaran Firman Tuhan,
yaitu demi KerajaanNya, KebenaranNya, dan demi keselamatan atau kebaikan orang
lain, sehingga Nama Tuhan Allah yang dipermuliakan.
Kasmin (bukan nama
sebenarnya) adalah seorang suami dan ayah yang baik. Dia bisa membagi waktu
dengan baik dalam bekerja, menemani keluarga, olah raga, membina pergaulan,
beribadah dan melayani Tuhan dengan efektif. Suatu kali dia ditawari pekerjaan
baru dengan bayaran gaji dua kali lipat, plus dapat bonus pinjaman beli rumah
dan mobil baru. Nampaknya pekerjaan baru ini mirip dengan pekerjaan sekarang,
hanya bossnya ingin dia datang ke kantor lebih awal dari bossnya dan pulang
lebih akhir dari bossnya. Singkatnya, dia menerima tawaran pekerjaan
itu.
Pada bulan pertama nampaknya semua berjalan baik. Hanya
beberapa bossnya terlambat pulang, sehingga Kasmin harus ikut terlambat pula,
alias lembur. Pada bulan-bulan berikutnya, bossnya lebih sering pulang telat,
bahkan seringkali bossnya juga masuk lebih pagi. Mau tidak mau sesuai
perjanjian, Kasmin harus pulang telat dan masuk lebih pagi dari bossnya.
Akibatnya, waktu untuk keluarga tersita, olah raga terabaikan, pergaulan
terganggu, bahkan pelayanan dan ibadahnya pun ditinggal karena bossnya sering
kerja Sabtu dan Minggu. Singkat cerita, gara-gara boss yang ‘workaholic’,
Kasmin masuk dalam perangkap menjadi ‘budak’ karier. Uang telah memperbudak
dirinya dan memenjarakan dirinya. Untunglah, Kasmin cepat menyadari bahaya ini.
Belum enam bulan, dia minta berhenti dan kembali hidup seperti dulu. Walau
tidak lebih kaya, namun dia lebih bahagia, karena semua aspek hidupnya bisa
terpenuhi dengan baik, seimbang, dan indah.
4. Konsultasi Dengan Tuhan:
Memang betul bahwa dalam
perjalanan hidup inimkita membutuhkan nasihat dan pertolongan sesama. Kita
perlu berkonsultasi dengan orang-orang yang kita anggap dapat memberikan kita
nasihat yang berharga, entah itu dari konselor keuangan, guru/ dosen, orang tua
(ayah, ibu atau kakek nenek), pendeta, atau orang-orang yang ‘ahli’ pada
bidangnya. Namun, konsultasi dengan Tuhan adalah langkah yang tidak kalah
pentingnya untuk menjalani perjalanan sukses yang sejati. Tuhan Yesus
memperingatkan kita, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu
jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.”
(Matius 26:41). Rasul Paulus menuliskan surat penggembalaan
pribadinya, kepada Timotius demikian, “Segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan,
untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (II Timotius
3:16). Jelas sekali bahwa konsultasi dengan Tuhan adalah membangun
komunikasi pribadi dengan Tuhan melalui doa dan membaca FirmanNya.
Tentunya konsultasi ini
tidak dilakukan hanya pada saat kritis atau kepepet saja, seperti biasanya
manusia konsultasi dengan para ahli; tetapi seharusnya menjadi kebiasaan yang
rutin dan pertama sekali sebelum mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu,
bukan setelah keputusan diambil sendiri dan keadaan sudah kacau dan
membingungkan. Sebab itu sebagai orang yang sudah diselamatkan Kristus, dan
dianugrahkan Roh Kudus dalam diri kita, seharusnyalah kita belajar lebih
sensitif terhadap suara Roh Kudus yang memimpin kita sesuai dengan Firman
Tuhan, baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Rasul Yohanes
menuliskan, “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan
memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari
diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan
dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.”
(Yohanes 16:13).
Sebab itu, setiap
langkah perjalanan akan sungguh sukses bila kita bertanya/ berkonsultasi dengan
Tuhan lewat FirmanNya, lewat bisikan Roh Kudus dan hubungan doa yang intensif
dan teratur. Tanyakan apa saja, apakah itu soal studi, pekerjaan, calon pacar,
relasi bisnis, dan berbagai masalah lainnya dan keputusan yang akan diambil.
Tanyakan apakah semua itu sungguh sesuai dengan kehendak Tuhan? Cocok dengan
kemauan Tuhan? Menyenagkan hati Tuhan? Ssejalan dengan pikiran Tuhan? Atau
sebaliknya, keputusan itu telah membuat Anda terjebak dalam godaan iblis,
kenikmatan dunia, atau nafsu kedagingan? Apakah keputusan ini hanya untuk
memuaskan nafsu kedagingan semata? Apakah Anda sudah mengikuti jalan dunia ini?
Atau sudah mengikuti suara iblis hingga melanggar firman Tuhan? Ataukah hanya
untuk keangkuhan ‘si aku yang lama’? Dengan mengadakan ‘cek dan recek’ kepada
Firman Tuhan, dan peka terhadap suara Roh Kudus, kita akan dipimpin agar tidak
tersesat.
Wanda Johnson adalah
seorang wanita hitam yang menjanda dan harus menghidupi 5 orang anak yang
ditinggalkan oleh suaminya. Dia miskin dan belum bekerja, namun setiap hari
harus menyediakan makanan kepada anak-anaknya yang masih kecil. Suatu kali,
uang di tangannya sudah habis. Harta satu-satunya adalah sebuah TV tua. Pagi
itu dia membawa TV itu berjalan menuju ke rumah gadai dan mengharapkan bisa
dijual dengan harga $60 untuk meneruskan menghidupi anak-anaknya. Sebelum
ia tiba di rumah gadai, ia menemukan sebuah karung di pinggir jalan. Nampaknya
agak mencurigakan. “Apa isinya,” pikirnya. Lalu dia mengambil karung itu dan
pulang ke rumahnya. Ternyata karung itu berisi uang sebanyak $160 ribu. Wow!
Banyak sekali. Uang ini akan cukup menghidupi anak-anaknya bertahun-tahun
lamanya tanpa harus bekerja.
Ia tergoda untuk
menyimpan uang itu dan menggunakannya perlahan-lahan. “Kemungkinan Tuhan
mengasihanimu dan memberikan ‘rejeki’ ini”, suara hatinya berbisik. “Lagi pula
kamu kan miskin, Tuhan juga tahu kebutuhanmu,” suara itu meneguhkan keinginan
dagingnya. “Tetapi mana mungkin Tuhan menjatuhkan uang dari sorga? Pasti ada
pemiliknya yang berhak atasnya,” suara lain dari hatinya mengingatkan. “Kamu
kan orang Kristen, bukankah Tuhan mengajarkan agar tidak boleh mencuri? Jangan
menginginkan milik orang lain? laorkan saja ke polisi,” suara itu melanjutkan
lagi. Sungguh suatu pergumulan yang sulit bukan? Ketika dalam kesulitan,
kepepet uang, lalu ketemu uang, banyak lagi. Siapa yang tidak tergoda untuk
mengambilnya? Namun, Wanda Johnson yang beriman setia kepada Kristus dan yang
berkonsultasi dengan Tuhan, akhirnya mengambil keputusan mengembalikan uang
itu. Setelah
dia berdoa dan bergumul lebih kurang 4 jam, dia menelepon polisi dan melaporkan
uang itu dan mengembalikannya. Dia katakan: “Ini jelas bukan milik saya.
Silakan kembalikan kepada yang berhak memilikinya.” Sungguuh suatu langkah
sukses yang sejati, bukan?
Nasihat Tuhan Yesus agar senantiasa ‘berdoa dan
berjaga-jaga’ berarti sadar dengan
pikiran yang jernih dan waspada terhadap ‘ranjau-ranjau mush’ yang akan
menjebak, menjatuhkan dan menggagalkan hidup dan pelayanan kita. ‘Berdoa’
berarti bicarakan dengan Tuhan setiap detail perkara yang ada, setiap aspek
hidup ini tanpa kecuali. Seringkali alasan kita untuk tidak berdoa adalah
karena “Sibuk”. Ini adalah taktik Iblis. Berdoa bukan menunggu ketika ada waktu
luang. Justru lebih sibuk kita lebih membutuhkan doa agar tidak menjadi salah
langkah dan terjatuh. Alasan lain adalah “Capek”. Ini juga taktik dusta dari
Iblis. Doa bukan diperlukan di kala tidak capek. Justru ketika tubuh kita
lemah, lelah, dan capek, pada saat itu kita lebih membutuhkan doa, agar
disegarkan kembali oleh Tuhan. Alasan lain? Oh lagi “Terjepit” atau “Bingung”
atau “Kacau”. Ini juga adalah taktik licik Iblis agar kita menuduh
Tuhan atau marah kepadaNya dalam keadaan kritis ini. Justru dalam keadaan
kritis: entah bingung, kacau, atau terjepit, kita lebih membutuhkan doa karena
Tuhan akan memberikan ketenangan dan kesiapan hati untuk menghadapi berbagai
kemungkinan yang ada. Sediakanlah waktu yang tenang dan belajarlah mendengar
suaraNya yang lembut dan meneduhkan hati dan pikiranmu untuk menjalani
langkah-langkah sukses yang sejati. Coba perhatikan ilustrasi dibawah ini.
Jono adalah seorang
pemuda yang suatu kali bertanya kepada pendetanya soal kehidupan doanya. Dia
berkata: “Pak pendeta, mengapa Allah tidak menjawab doa saya? Saya sudah berdoa
terus kepadaNya? Bagaimana saya bisa mendengar jawabannya?” Pak pendeta itu
berkata lembut menjawabnya dengan beberapa kalimat. Jono tidak bisa mendengarnya
karena suara pak pendeta terlalu halus. “Apa?” tanyanya. Pak pendeta memberikan
tanda agar Jono datang lebih dekat kepadanya. Lalu pak pendeta berkata lagi
beberapa kalimat, masih dengan suara halus dan tenang. Jono masih tidak bisa
mendengarnya dengan jelas, dan bertanya lagi setengah berteriak, “Apa? Bapak
bilang apa?” Kemudian pak pendeta memberika aba-aba lagi agar Jono lebih
mendekat lagi. Hanya berjarak sepenggal tangan. Pendeta berbicara lagi beberapa
kalimat dengan suara berbisik. Ternyata Jono masih tidak mendengar, lalu dengan
kehilangan kesabaran, dia berteriak, “Pak pendeta jangan main-main dong, apa
sih yang bapaka katakan? Saya tidak mendengar kalau suara bapak berbisik begitu
halus. Akhirnya pak pendeta berkata kepada Jono dengan tersenyum dan tenang:
“Jono, seringkali Allah kita itu berbicara dengan berbisik kepada kita, Dia
hadir dalam ketenangan dan keheningan. Belajarlah datang lebih mendekat
kepadaNya. Jangan berteriak dan jangan terburu-buru, jangan tergesa-gesa dan
jangan marah-marah. Sediakanlah waktu, dan belajarlah bertenang di hadiratNya
dan dengarkanlah bisikanNya yang lembut. Engkau akan mendengar suaranya dengan
jelas. Cobalah!”
5. Mencari
Rekan Sepenanggungan:
Raja salomo yang bijaksana menuliskan Firman Tuhan
berikut, “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka
menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka.” (Pengkotbah 4:9). Ayat
ini bukan spesifik menunjuk kepada pasangan hidup. Bahwa yang sudah menikah
(berdua) jauh lebih baik daripada ‘single’ (tidak menikah). Bukan! Tetapi istilah “berdua lebih
baik daripada seorang diri” lebih tepat menunjuk kepada rekan/ teman yang seiman,
sepenanggungan, sehati, sevisi, setujuan, dan yang bertanggung jawab.
(‘accountibility friend’). Mengapa jauh lebih baik? Karena keduanya bisa saling
membantu dalam cek dan re-cek, saling mendoakan, saling membangun, saling
mengingatkan, saling menegur, dan saling menjaga dalam perjalanan sukses
ini.
Dalam
Perjanjian Lama, kita melihat contoh bagaimana Daud dan Yonatan membangun
persahabatan yang akrab, yang sepenanggungan (baca: I Samuel 18). Sahabat yang
sedemikian sesungguhnya lebih dekat daripada seorang saudara sekandung.
Diantara mereka ada suatu ‘komitmen’ untuk saling mengasihi, saling
membangun, saling menolong, saling mengoreksi, saling menghargai, menghormati,
bahkan saling berkorban demi kebaikan dan keselamatan sahabatnya. Demi nyawa
Daud yang terancam, Yonatan memilih untuk tidak berada pada pihak ayahnya, raja
Saul yang merencanakan memusnahkan Daud.
Dalam
Perjanjian Baru kita melihat bagaimana ketiga murid Tuhan Yesus, Petrus,
Yohanes dan Yakobus menjadi rekan-rekan kerja dan sepenanggungan (baca: Matius
17:1; 26:37). Ketiganya merupakan murid-murid terdekat Tuhan Yesus yang
bertumbuh bersama, melayani bersama, belajar bersama, dan dilatih bersama oleh
Tuhan Yesus menjadi rasul-rsaul perintis gereja Tuhan di abad pertama.
Orang
yang tidak memiliki sahabat atau rekan sepenanggungan dalam hidup dan
pelayanannya adalah orang yang kasihan. Dia tidak memiliki kesempatan untuk
dikoreksi dan mengoreksi, dibangun dan membangun, dikasihi dan mengasihi,
ditolong dan menolong, dan dia akan kehilangan sukacita bertumbuh
dalam perjalanan sukses yang dinamis, kreatif, dan produktif.
Ketika
saya menjadi Pembina di Komisi Pemuda, ada anak muda yang bertanya kepada saya:
“Pak, apakah seseorang diperbolehkan datang ke Persekutaun Pemuda dengan tujuan
mencari pacar (pasangan hidup)?” Sambil tersenyum saya bertanya balik: “Menurut
kamu bagaimana?” Dia menjawab: “Ya, seharusnya tidak boleh dong, gereja kan
rumah Tuhan, masa tempat cari pacar?” Saya yakin Kemungkinan dia telah mendapat
jawaban bahwa orang ke persekutuan itu seharusnya memiliki tujuan hanya untuk
‘mencari Tuhan’, namun sebagai anak muda adalah sangat wajar untuk mulai
tertarik kepada teman lawan jenis. Sebab itu, sambil tersenyum saya katakan: “Menurut
saya tidak apa-apa bila ke Persekutuan Pemuda mencari pacar. Tentunya jangan
hanya mencari pacar saja, lalu setelah ketemu lalu keduanya menghilang. Maksud
saya, selain belajar Firman Tuhan (‘mencari Tuhan’) dan bersekutu dengan
teman-teman anak muda, apa salahnya kalau ada kesempatan mendapatkan pacar di
gereja Tuhan. Bukankah lebih baik mendapatkan ‘teman hidup’ di gereja daripada
mendapatkannya di diskotik atau di bar atau club sekuler? Bila ternyata tidak
mendapatkan pacar, setidak-tidaknya kan bisa mendapatkan teman atau sahabat?”
Dia akhirnya juga tertawa ambil manggut-manggut tanda setuju dengan pendapat
saya.
Rekan
sepenanggungan yang memiliki visi dan misi yang sama dalam perjalanan sukses
ini bisa saja adalah istri atau suami kita, atau pacar kita. Saya yakin suami
atau istri adalah sahabat yang terbaik, terdekat yang mengenal kita ‘luar dan
dalam’, bukan? Namun, bila selain istri dan suami, kita memiliki sahabat
lainnya yang bisa bertekad dengan sehati, sejiwa, sepikiran, sepenanggungan,
sevisi, dan semisi untuk bersama menjalani perjalanan sukses ini, sesuai dengan
pimpinan Roh Kudus dan sesuai Firman Tuhan, tentunya jauh lebih baik.
Beberapa langkah yang
konkret yang bisa dilakukan dalam hal ini adalah:
- Coba carilah minimal seorang sahabat baik
yang mau bertekad untuk menjadi rekan sepenanggungan yang setia hingga
akhir hidup di dunia ini. Sebaiknya bukan istri atau suami, atau saudara
sekandung sendiri. Saudara seiman dalam gereja lokal yang sama adalah pilihan
yang paling ideal.
- Aturlah pertemuan yang rutin minimal
seminggu sekali selama 1-2 jam untuk saling mengevaluasi diri dalam semua
aspek dalam hidup ini. Bisa dijadwal misalnya: minggu pertama
mengevaluasi disiplin dalam membaca Alkitab dan berdoa (‘meditasi’).
Minggu kedua: evaluasi kehidupan keluarga (hubungan suami-istri dan orang
tua-anak). Minggu ketiga: evaluasi aspek finansial dan pekerjaan. Minggu
keempat: aspek disiplin dalam olah raga dan membaca buku. Demikian
seterusnya dengan aspek-aspek lainnya. Dalam evaluasi ini ada tekad untuk
memeriksa, bertanya, menganalisa, mengritik membangun, mengoreksi dan
mengingatkan/ menegur dengan kasih dan kebenaran.
- Tahap selanjutnya
adalah saling menyusun rencana untuk memperbaharui apa yang dievaluasi dan
diikuti dengan saling mendoakan. Tentunya lebih baik lagi, kalau ada waktu
belajar Firman Tuhan bersama-sama dengan sistematis danm progresif.
- Selain pertemuan
seminggu sekali, sebagai rekan sepenanggungan juga masing-masing bertekad
untuk menelepon kapan saja untuk saling ‘cek dan re-cek’ sejauh mana
perjalanan sukses ini sudah dijalani dengan baik dan setia. Dengan
demikian rekan kita bisa berperan bagaikan mewakili Allah yang Maha Hadir
dan Maha Melihat sejauh mana kita sudah konsisten dan konsekwen dengan apa
yang sudah kita tekadkan atau janjikan mau dilakukan/dijalani dengan baik
dan setia. Tentunya peranan seorang rekan itu bukan mirip dengan ‘polisi’
ayau ‘hakim’ yang menakutkan atau menegangkan; melainkan sebagai
‘orang-tua’ atau ‘teman’ yang siap membantu dan menolong satu dengan
lainnya. Untuk itu perlu membuat ‘tekad’ (‘komitmen’) untuk saling
terbuka, saling meminta bantuan bial perlu, dan siap berkorban untuk
menolong semaksimal mungkin dalam aspek apa saja, termasuk aspek yang
sensitif misalnya soal finansial. Keterbukaan persahabatan ini tentunya
harus menaklukkan rasa malu, rasa sungkan, atau rasa takut untuk dihina,
atau direndahkan, atau ditolak. Sebaliknya, membangun saling percaya,
saling mengerti, saling menghargai, dan saling mengasihi dengan konkret
sesuai dengan cinta kasih Kristus yang murni dan sejati, kasih yang
melebihi seorang saudara (baca lagi: Amsal 17:17).
- Untuk lebih
meningkatkan hubungan yang lebih akrab, bisa sekali-sekali, misalnya
sebulan atau dua bulan sekali adakan pertemuan dengan keluarga
masing-masing, bila masing-masing sudah berkeluarga dan memiliki
anak-anak. Rancanglah acara yang bisa membangun keakraban diantara kedua
keluarga yang ada, khususnya anak-anak bisa saling mengenal dan saling
mengasihi.
6. Mengalahkan
Kekuatiran Dengan Iman:
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa dalam
perjalanan sukses yang panjang ini, Allah tidak menjamin akan senantiasa
berjalan mulus dan lancar. Adalah suatu fakta kehidupan bahwa orang percaya pun
bisa mengalami berbagai rintangan, kesulitan, dan pencobaan. Hal sedemikian
seringkali menimbulkan berbagai kekuatiran, ketika memikirkan ‘hari esok’ (masa
depan) yang nampaknya masih kabur, gelap, atau tidak menentu. Kekuatiran dapat
didefiniskan sebagai ketakutan terhadap sesuatu yang belum jelas wujudnya atau
yang ada dalam bayang-bayang masa yang akan datang.
Tuhan Yesus menjelaskan soal mengapa kita tidak perlu
kuatir. Kita adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi nilainya. Lebih tinggi
dari segala binatang dan segala tumbuh-tumbuhan yang ada. Jikalau burung di
udara Bapa di sorga peliharakan dan bunga di padang Dia hiasi dengan indah,
pastilah kita pun Dia peliharakan jauh melebihi binatang dan tumbuhan, bukan?
Lalu Tuhan Yesus simpulkan, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan
hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari
cukuplah untuk sehari.” (Matius 6:34).Selain itu sebenarnya ada alasan
lain yang lebih hakiki mengapa kita tidak boleh kuatir. Ini merupakan
peringatan yang keras dari Tuhan Yesus. BagiNya, kekuatiran itu sama dengan
dosa “tidak beriman” atau “tidak percaya” kepada pribadi Allah dan pekerjaan
Allah. Perhatikan perkataan Tuhan Yesud dalam ayat 32, “Semua itu
dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di
sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.” (Matius 6:32). Istilah
“bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah” menunjuk kepada ‘orang Kafir” atau
“orang yang tidak beriman atau tidak percaya” -- yang hanya memusatkan hidup
mereka kepada materi atau berhala yang ‘mati’. Sedangkan Bapa kita
di sorga adalah Allah yang ‘hidup’ yang mengetahui segala kebutuhan kita dan
berjanji akan memeliharakan hidup kita dan mencukupkan segala yang kita
butuhkan sesuai dengan kekayaan dan kemuliaanNya. (baca: Filipi 4:19).
Sebab itu langkah keenam dalam menjalani perjalanan
sukses ini amat penting, yaitu mengalahkan kekuatiran dengan iman. Dengan kata
lain bila masih ada kekuatiran yang menggerogoti hidup Anda, pertama-tama Anda
harus bertobat, dan kembali beriman penuh atas pribadi Tuhan, janji Tuhan, dan
pekerjaan pemeliharaan Tuhan. Rasul Petrus menuliskan, “Serahkanlah
segala kekuatiranmu kepadaNya (Bapa di sorga), sebab Ia yang
memelihara kamu.” (I Petrus 5:7).
Bagaimana mengalahkan
kekuatiran dengan iman? Penulis Ibrani memberikan definisi iman
sebagi berikut: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita
harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibrani 11:1). Dengan
kata lain, walaupun kita belum atau tidak bisa melihat masa depan, atau
nampaknya masa depan gelap atau kelihatannya mustahil; tetaplah yakin bahwa
Allah itu melihat dan memelihara dan sanggup melakukan hal-hal yang diluar
dugaan dan perkiraan kita. Bahwa bagi Dia tidak ada yang mustahil. Bahwa
janjiNya tidak pernah gagal, dan Dia akan membukakan jalan yang baru yang
melampaui akal pikiran kita. Rasul Paulus menuliskan, “Pencobaan-pencobaan
yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan
manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai
melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan
ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” ( I Korintus 10:13). Dan
Tuhan Yesus mengatakan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan
kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33). Dengan
percaya penuh kepada Firman Tuhan, kita akan mengalami perjalanan sukses yang
diberkati Tuhan dan sekaligus menumbuhkan iman kita kepadaNya.
Seringkali apa yang tadinya kita kuatirkan pada akhirnya
ternyata tidak terjadi sama sekali. Dengan demikian semua waktu, energi,
pikiran, dan apa saja yang sudah kita habiskan dalam masa-masa kekuatiran itu
sungguh sia-sia belaka. Betapa ruginya, bukan? Ada seorang ibu yang seringkali
kuatir dalam hidupnya. Banyak hal yang dia kuatirkan. Soal finansial, soal
studi anak-anak, soal pekerjaan suami, soal kesehatan, soal ini dan itu. Wah, semakin dikuatirkan dan dipikirkan terus,
semakin banyak pula hal negatif yang mengerogoti hidupnya. Tidak heran hidupnya
jadi stress berat. Lalu dia meminta nasihat kepada pak pendeta. Setelah
mendengarkan semua keluhannya, sang pendeta memberikan dia sebuah kotak yang
bertuliskan “Kotak Kekuatiran” sambil berkata kepada ibu itu: “Bu, bawalah
kotak ini pulang. Saya minta setiap kali ibu kuatir – soal apa saja, ambillah
selebar kertas, lalu tuliskan kekuatian ibu secara rinci, lalu bubuhkan tanggal
dan bulan hari itu. Sesudah ditulis, masukkanlah kertas itu dalam kotak ini.
Selembar kertas untuk satu kekuatiran. Kalau ada kekuatiran yang lain, ambillah
kertas yang baru, lalu tuliskan juga secar rinci, dan beri tanggal dan bulan,
lalu masukkan lagi ke kotak ini. Nanti pada akhir tahun, bawalah kotak itu
kepada saya.” Setelah didoakan, ibu itu pun pulanglah dan mulai melakukan apa
yang ditugaskan kepadanya.
Pada bulan-bulan
pertama, ternyata ada banyak kertas yang ditulis oleh sang ibu dan dimasukkan
ke kotak kekutiran itu. Lama kelamaan dia mulai sadar bahwa kertas
yang dituliskan semakin sedikit. Singka cerita hingga akhir tahun, dia bawa
kembali kotak itu kepada sang pendeta. “Pak, ini kotaknya. Saya heran, kok
semakin hari kertas yang saya semakin sedikit, namun kotak ini nampaknya mulai
penuh,” kata sang ibu sedikit keheranan. Pak pendeta tersenyum dan menjawabnya:
“Bagus. Ini namanya ada kemajuan, kan? Berarti secara tidak sadar kekuatiran
ibu mulai berkurang. Ketika ibu bisa menuangkan segala kekuatiran itu – apalagi
bila dituangkan kepada Bapa di sorga. Dia berjanji akan memelihara hidup ibu.
Ingat Firman Tuhan?” Sambil manggut-manggut, sang ibu berkata: “Benar pak, saya
sendiri sering kurang beriman.” Pak pendeta lalu berkata lagi: “Nah, sekarang
kita akan membuka kotak ini dan coba mengevaluasi apa saja yang sudah
dikuatirkan ibu selama tahun ini. Kita akan menghitungnya ada berapa persen
yang terjadi sesuai dengan apa yang ibu kuatirkan. Setuju?” Singkat cerita,
setelah dibaca semua kertas kekuatiran itu dan dihitung-hitung, ternyata apa
yang dikuatirkan ibu itu sama sekali tidak ada yang terjadi. Dengan kata lain,
100% hanyalah merupakan ‘bayang-bayang ketakutan’ yang diciptakan sendiri dari
hati yang tidak beriman. Bagaimana
dengan hidup Anda? Banyak kekuatiran? Cobalah praktikkan pengalaman ibu dengan
“Kotak Kekuatiran”nya! Anda akan takjub melihat bagaimana kuasa dan janji Tuhan
senaniasa menaungi Anda selama perjalanan sukses ini.
7. Bertahan Hingga Akhir:
Ada kalanya doa-doa kita
dijawab “Tidak” oleh Tuhan; ada kalanya tampak Allah berdiam diri; atau
bersembunyi dari segala pergumulan kita dalam perjalanan sukses ini. Ingatlah
bahwa Allah tidak bisa dianalisa oleh pikiran kita. Dia jauh melampaui pikiran,
perasaan, dan melampaui segala masalah kita dalam kehidupan ini. Langkah ke
tujuh dalam menjalani hidup dan pelayanan yang sukses ini adalah bertahan
hingga akhir. Dengann kata lain, apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaannya –
berat atau ringan, sakit atau sehat, lancar atau macet – kita harus bertahan
hingga akhir perjalanan yang sudah dianugrahkan kepada kita sesuai dengan
kedaulatan Allah. Mengapa? Karena klimaks dari perjalanan sukses ini diukur
ketika kita meninggalkan dunia ini. Apakah kita mati secara sukses atau mati
secara gagal, akan ditentukan ketika kita bertemu dengan Tuhan Yesus, Sang
Hakim yang adil sang Tuan dari segala tuan, dan Raja dari segala raja. Orang
yang bertahan hingga akhir akan menikmati kebahagiaan dan ‘mahkota’ yang sudah
disediakan baginya.
Bagaimana caranya bisa
bertahan hingga akhir? Perhatikan apa yang ditulis oleh rasul Paulus kepada
jemaat di Roma ketika dia menasihati mereka agar menjalani hidup dan pelayanan
mereka dengan penuh kasih, tidak pura-pura, penuh kebaikan, dan hidup rukun
dalam saling menghormati, dan saling mengasihi. Bahkan dalam pelayanan bagi
Tuhan hendaklah dengan hati yang berkobar-kobar dan jangan sampai kerajinan
mereka menjadi kendor (Bacalah: Roma 12:9-11). Sebelumnya dia menjelaskan soal
karunia-karunia yang sudah dianugrahkan Tuhan dan menasihati mereka
mempersembahkan seluruh hidup sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan
berkenan kepada Allah (Roma 12:1-8). Semua nasihat ini dituliskan kepada mereka
dalam kondisi hidup dan pelayanan yang penuh tantangan, baik secara eksternal
dari penguasa Roma yang ‘anti-Kristen” maupun secara internal dari pergumulan
pribadi dan jemaat di Roma sendiri, yang heterogen dan kompleks. Rasul Paulus
menasihati mereka agar terus ‘bertahan hingga akhir’ apapun yang akan terjadi.
Bagaimana caranya? Dia tuliskan, “Bersukacitalah dalam pengharapan,
sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!” (Roma 12:12). Dari
prinsip Firman Tuhan ini ada tiga kunci yang praktis yaitu:
- Bersukacitalah dalam pengharapan. Ini adalah soal
internal dalam pribadi kita. Kunci utama yang menolong kita bertahan
adalah senantiasa bersukacita dalam pengharapan. Ya, pengharapan akan
janji Tuhan, pengharapan yang menghasilkan kuasa, berkat, dan sukacita
yang sejati (Bandingkan: Filipi 4:4 – yang ditulis Paulus di penjara).
Pengharapan akan kedatangan Kristus kedua kali yang merupakan klimaks dari
segala yang dijanjikanNya kepada kita. Jadi, bukan sukacita dalam pesta
pora, atau kemabukan, atau dalam hal-hal duniawi yang menyesatkan. Bukan.
Melainkan dalam pengharapan yang sejati sesuai dengan FirmanNya. Dengan
‘tetap bersukacita’ dunia akan tahu – dan kita buktikan bahwa kita adalah
murid Kristus yang sukses menjalani hidup dan pelayanan di dunia ini, dan
tentunya akan mendatangkan kemuliaan bagi NamaNya.
- Sabarlah dalam
kesesakan. Ini adalah soal eksternal. Ketika
kita menghadapi berbagai ‘tekanan dari luar’ – apa saja dan dari mana
saja, misalnya: dari pihak keluarga, teman, masayarakat, politik,
keamanan, finansial, dan berbagai tekanan yang seringkali akan menjatuhkan
mental dan spiritual kita. Semua tekanan ini menghasilkan ‘kesesakan’
bukan? Kunci kedua untuk bertahan adalah bersabar. Artinya, jangan cepat
putus asa, marah-marah, mengunci diri, membenci diri, atau bunuh diri. Jangan
‘melemparkan handuk’ dan melarikan diri kepda hal-hal yang negatif,
misalnya: alkohol, perjudian, pelacuran, atau perbuatan jahat lainnya:
korupsi, menipu, mencuri, atau dosa lainnya. Sebaliknya mintalah kesabaran
kepada Roh Kudus yang memang satu-satunya Oknum yang sanggup memproduksi
‘buah kesabaran’ dalam hidup kita (baca: Galatia 5:22). Jika kita meminta
kepadaNya, pastilah akan diberikannya bukan? Seorang bertanya kepada
pendetanya, “apa definisinya sabar?” Sang pendeta menjawabnya: “Ketika
engkau sudah tidak tahan, dan ngin berteriak: ‘mana tahan’ cobalah tahan
satu kali lagi.” Bila hal ini terus menerus dilakukan, Anda akan
mendapatkan diri Anda seorang yang sabar dan sanggup bertahan hingga
akhir. Ya kan?
- Bertekunlah dalam doa. Ini adalah soal vertikal. Ketika semua jalan nampaknya macet dan
tertutup – maju kena, mundur kena, ke kiri kena, ke kanan kena – semua
jalan buntu dan Anda kebingungan mencari jalan, ingatlah bahwa masih ada
satu jalan yang tidak pernah macet atau tertutup. Itulah jalan vertikal,
jalan keatas. Berdoa kepada Bapa di sorga. Jalan ini senantiasa terbuka.
Berdoalah dengan tekun. Maksudnya, disiplin, rajin, setia, dan jangan
berhenti. Paulus mengatakan: “Tetaplah berdoa” (I Tesalonika 5:17). Hal
ini tidak berarti seseorang terus berlutut dan berdoa sepanjang hari, atau
mata tertutup den komat-kamit terus menerus, atau hanya berdoa tanpa
bekerja. Bukan. Tetaplah berdoa maksudnya bangunlah hubungan yang tanpa
putus – ibarat ‘hot line’ dengan Bapa di sorga melalui pikiran, hati, tindakan,
dan perbuatan sehari-hari. Dalam setiap aspek hidup dan pelayanan ini,
tidak ada satu hal yang tidak digumulkan melalui doa, untuk memohon
nasihat dan petunjukNya. Dengan ketekunan berdoa inilah mereka yang lemah
akan dikuatkan, yang lesu akan digairahkan, yang ‘tertidur’ akan
dibangunkan, yang ‘mati’ akan dibangkitkan, yang terjatuh akan diangkat
kembali, yang sedih akan dihiburkan, yang sakit akan disembuhkan, yang
terikat akan dilepaskan, yang kesesakan akan dilegakan, yang lelah akan
disegarkan, yang hampir hampir berteriak ‘mana tahan’ akan ditolong untuk
bertahan sekali lagi, dan yang hampir gagal akan diubah menjadi sukses.
Yakinlah, bahwa hanya Allah yang sanggup menolong Anda dalam seluruh
perjalanan sukses ini. Mereka yang tidak mengenal dan dikenal Allah hidup
dan pelayanan ini tidak jarang menghabiskan hidup mereka sendiri karena
tidak tahan menghadapi dan menyelesaikan depresi yang terlalu berat. Lihat
saja ada berapa banyak selebritis yang ‘bunuh diri’ dengan berbagai macam
cara. Bukan karena miskin dan kekurangan secara materi, justru dalam
kelimpahan materi, namun tidak memiliki Tuhan yang hidup dan menghidupkan
itu. Kematian yang menolak Tuhan, menyangkal Tuhan, dan tanpa Tuhan
sesungguhnya adalah kematian yang gagal total. Sebaliknya, rasul Yohanes
menuliskan wahyu Tuhan, “Dan aku mendengar suara dari sorga
berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan,
sejak sekarang ini.’ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh
beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka
menyertai mereka.’” (Wahyu 14:13).
No comments:
Post a Comment