DEFENISI BEBAS
Adjektif
1. lepas sama sekali (tidak
terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dng
leluasa): tiap anggota -- mengemukakan pendapat; burung itu terbang --
di angkasa; 2. lepas dr (kewajiban, tuntutan,
perasaan takut, dsb): hari ini ia -- dr kewajiban mengajar; krn memang tidak
bersalah, ia -- dr tuntutan; 3. tidak
dikenakan (pajak, hukuman, dsb): surat dinas ini -- bea; 4. tidak
terikat atau terbatas oleh aturan dsb: obat itu dijual -- dan terdapat di setiap apotek; 5. merdeka (tidak dijajah, diperintah,
atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing): sehabis
Perang Dunia II banyak negara yg --; politik luar negeri yg -- dan aktif; 6 tidak terdapat (didapati) lagi: negara
kita belum -- buta huruf; daerah ini sudah -- cacar;
Kebebasan memilih
Noun
keadaan bebas;
kemerdekaan: manusia yg tertindas harus berjuang untuk -nya;
Kebebasan memlih dalam pemilu? Bukan
hanya dalam sekadar ruang lingkup sesempit itu, melainkan kebebasan memilih
dalam skala makro yang akan dibicarakan. Ada di salah satu Kitab Tafsir Al
Quran dan memperlihatkan terjemahan S. Al Baqarah, 212:
3 ª!$#ur ä-ãöt `tB âä!$t±o ÎötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇËÊËÈ
diterjemahkan dengan :
Dan Allah memberi rezeki kepada
orang-orang yang dikehendakiNya.
Ada
juga yang menterjemahkan: Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang menghendaki
(untuk mendapatkan rezeki).
Di zaman pra-Islam ada dua aliran
filsafat yang saling bertentangan. Di pihak yang satu berfaham bahwa manusia
itu sama sekali tidak mempunyai ikhtiar apa-apa, Tuhanlah Yang aktif. Aliran ini menempatkan manusia dalam
keadaan pasif sebenar-benarnya. Inilah Jabariyah,
Fatalisme Sedangkan pada pihak yang lain, yang bertolak belakang dengan
aliran tersebut adalah faham Qadariyah.
Faham ini walaupun masih percaya
adanya Maha Pencipta, tetapi menganggap Tuhan
dalam keadaan pasif, manusialah yang aktif dalam berkeinginan dan
berikhtiar. Jadi setingkat di bawah faham Deisme, yang mengingkari komunikasi
antara Tuhan dengan makhlukNya.
Memang ada dua penafsiran ayat
tersebut. Perbedaan ini terletak dalam hal siapakah yang menjadi fa'il (=
pelaku) dari perbuatan yasyaau (= menghendaki) dalam ayat itu. Apakah Allah
atau man. Pada penafsiran yang pertama, Allah Yang menjadi Fa'il.
Dengan demikian ayat itu berarti:
Allah memberi rezeki kepada orang yang (Allah) kehendaki, atau dengan ungkapan
lain: dikehendakiNya. Penafsiran ini diwarnai oleh faham Jabariyah. Allah
aktif, manusia pasif tanpa ikhtiar.
Sedangkan pada penafsiran yang
kedua, man = siapa, atau orang yang menjadi pelaku. Maka ayat itu berarti:
Allah memberi rezeki kepada orang yang menghendaki (untuk mendapatkan rezeki).
Penafsiran ini tidak diwarnai oleh faham Jabariyah. Juga tidak diwarnai oleh
Qadariyah. Dalam penafsiran ini Allah
aktif dan manusia aktif. Inilah faham Ahlussunnah.
Sebenarnya ada ayat lain yang senada
dengan ayat di atas itu, yakni: (S. Al Baqarah 213) Yahdie artinya memberi petunjuk.
Dalam hal ada penafsiran yang
berbeda, maka perbedaan itu harus diujicoba, jangan dibiarkan dalam keadaan
status quo. Pendekatan Kitabiyah jangan seperti keadaannya dengan ilmu di zaman
Yunani Kuno. Kalau dikatakan ini pendapat Socrates, ini menurut Anaxagoras,
maka selesailah sudah, tetap dalam keadaan status quo. bahwa Pendekatan
Kitabiyahpun jangan berhenti pada status quo, menurut qaul (pendapat) si Fulan
begini, menurut si Fulan yang lain begitu.
Sudah juga dijelaskan bahwa yang
diujicoba bukan kebenaran ayat. Kebenaran ayat itu mutlak, sebab ayat itu
bersumber dari Yang Maha Mutlak. Yang diujicoba adalah hasil penafsiran
manusia, hasil pekerjaan akal manusia. Penafsiran itu harus diperhadapkan
kepada ayat-ayat yang lain. Marilah kita rujukkan kedua penafsiran yang
bertolak belakang itu terhadap surat Ar
Ra'd :11
artinya: Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum,
hingga mereka itu mengubah keadaan dirinya.
(Sedikit catatan, banyak yang menulis arti yughayyiru dengan
merubah. Ini tidak betul. Rubah adalah binatang sejenis keluarga anjing, dalam
bahasa Inggris disebut fox. Asal katanya ubah, mendapat awalan me+sengau ng
menjadi mengubah).
Ayat di bawah lebih mempertegas apa
yang dimaksud dengan keadaan tersebut: dalam Surat (Al Anfal 53)
y7Ï9ºs cr'Î/ ©!$# öNs9 à7t #ZÉitóãB ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã BQöqs% 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/
: Demikianlah Allah tidak akan
membuat perubahan untuk memberi ni'mat atas suatu kaum, hingga mereka mengubah
keadaan dirinya.
Jadi sudah jelas, bahwa yang
dimaksud dengan keadaan adalah ni'mat Allah. Adapun ni'mat Allah dapat berupa
petunjuk seperti dalam S. Al Baqarah 213 di atas, ataupun berupa rezeki seperti
dalam S. Al Baqarah 212. Baik S. Ar Ra'd 11, maupun S. Al Anfal 35, keduanya
tidak berpola Qadariyah juga tidak berpola Jabariyah.
Allah memberikan ni'mat yang
bersyarat. Syaratnya ialah siapa yang berusaha mengubah dirinya untuk mendapatkan
ni'mat itu. Jadi Allah aktif, manusia
juga aktif. Secara aktif, ni'mat Allah dipancarkan oleh Allah tak
putus-putusnya, ibarat matahari yang memancarkan sinarnya ke sekelilingnya.
Pada pihak yang lain manusia harus aktif pula berikhtiar untuk mendapatkan
ni'mat Allah yang dipancarkan Allah itu.
Ibarat seorang manusia yang ada di
dalam gua yang gelap gulita, mana mungkin akan mendapatkan sinar matahari,
apabila orang itu tetap tinggal di dalam gua itu. Ia harus berikhtiar, keluar
dari gua untuk mendapatkan sinar matahari itu.
Begitu juga dengan Ilmu, harta,
kesehatan, Jodoh, kekuasaan, dll
Ayat-ayat rujukan di atas itu berhubungan dengan pola makna
ayat, atau istilah canggihnya pola kontekstual. Berikut ini dikemukakan rujukan
ayat mengenai pola redaksionalnya. Firman Allah dalam S. Ar Ra'd 27:
cÎ) ©!$# @ÅÒã `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) ô`tB z>$tRr& ÇËÐÈ
sesungguhnya
disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberi petunjuk kepada
orang yang tobat.
Pola
secara redaksional ini jelas. Man adalah pelaku perbuatan ä!$t±o dan >$tRr& Jadi penafsiran yang dikukuhkan
oleh hasil ujicoba di atas adalah Allah aktif dan manusia aktif seperti pola
kontekstual yang ditunjukkan oleh S. Ar Ra'd,11 dan S. Al Anfal,35, dan pola
redaksional yang ditunjukkan oleh S. Ar Ra'd,27. Dan pola Allah aktif, manusia aktif, inilah faham Ahlussunnah,
dengan penafsiran seperti berikut:
Allah hanya berkenan memberikan
petunjuk kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan
petunjuk. Dan Allah hanya berkenan memberikan rezeki kepada orang yang berkeinginan
dan berikhtiar untuk mendapatkan rezeki.
Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
menentukan pilihannya: Apa mau sesat di tempat yang gelap, atau berikhtiar
mendapatkan petunjuk,mina zhzhulumaati ila nNur, dari kegelapan ke
terang-benderang.
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
Kebenaran dari Maha Pengaturmu,
siapa yang mau maka berimanlah, siapa uang mau maka kafirlah (S. Al Kahf, 29).
Dengan kebebasan memilih itu manusia
memikul tanggung jawab penuh atas hasil pilihan dan perbuatannya. Janganlah
pula orang kafir itu mengatakan mengapa ia harus dihukum, bukankah ia menjadi
kafir itu atas kehendak Allah? Allah Maha Adil, Yang menghukum manusia atas
hasil pilihaan manusia itu sendiri. Manusia harus mempertanggung-jawabkan hasil
pilihannya itu kepada Maaliki Yawmi dDien, Pemilik Hari Keadilan.
Dan kebebasan yang berhubungan dengan
manusia telah dicontoh oleh Rosulullah yang Allah sendiri dalam firman Allah
dalam surat Al-Qolam : وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ [٦٨:٤] ( (Dan sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung)
Untuk
apa kita mencari tauladan lain, mencari referensi lain, mencari contoh lain
kalau semua nya itu telah di contoh kan oleh Rosulullah, dan apa yang difirman
kan Allah dalam surat An-nisa’ : 36)
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ
وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا [٤:٣٦]
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri,
Bagaimana kita berhubungan dengan ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Semua sudah Rosul contohkan, tinggal
kita apakah mau mengikuti nya atau tidak kita bebas memilih
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ [٣:٣١]
Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
LA IKROHA FIDDIEN LANA A’MALUNA WA LAKUM A’MALUKUM.
Kebebasan
kita untuk berbuat/bermuamalah, itu juga dibatasi oleh kebebasan manusia yang
lain sebagai contoh :
Kita ingin mendengar music, kita
putar keras-keras, kalau suara nya tidak menggangu orang lain tidak ada
masalah, namun kalau menggu itu sedah melanggar kebebasan orang lain untuk
tenang, kit abaca alqur’an dengan speker dimasjid dengan mengeraskan suara,
tidak menjadi masalah yang menjadi masalah jika bacaan itu mengganggu
ketenangan orang lain sperti, di baca jam 12 malam, jam 4 malam yang mana orang
lain sedang ingin menikmati istirahat, kemudia contoh lagi ketika menjadi Imam
dimasjid kita gunakan speker dengan suara yang keras, boleh saja asal suara nya
tidak mengganggu yang lain nya, cukup yang sholat dan yang menjadi makmum saja
yang tau, kalau sudah mengganggu orang lain itu sudah mengganggu kebebasan
orang lain, ada lagi dengan suara kendaraan kita, kita senang dengan suara
kendaraan kita yang keras, namun apakah orang lain juga senang?.. kalau tidak
berarti kita sudah menggangu kebebasan orang lain, sabda nabi “Laa yu'minu ahadukum hatta yuhibbu ukhuhu kamaa yuhibbu
nafsahu” (tidak beriman seseorang
sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri). (HR.
Bukhari Muslim dan Tirmidzi)
Manusia yang paling lemah adalah orang
yang tidak mampu mencari teman. Namun yang lebih lemah dari itu adalah orang
yang mendapatkan banyak teman tetapi menyia-nyiakannya.
(Ali Bin Abi Thalib)
(Ali Bin Abi Thalib)
“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih
besar pahalanya daripada salat dan saum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!”
Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar,
menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali
saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan
mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar
pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan
rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).
Kesimpulan : Kebebasan Sudah Allah berikan kepada Mahluk
nya, Bagaimana menerapkan kebebasan sudah Allah berikan panduan nya, Alqur’an)
dan untuk mengaplikasikan amalan nya sudah Allah utus Rosul nya, Allah berikan
Akal pikiran kepada kita, mau ambilkah kita atau mau kita buang terserah kepada
diri masing-masing, sabda nabi kutinggalkan kepadamu dua perkara yang apabila
engkau pegang teguh tidak akan sesat selama nya, dua perkara itu ialah Alqur’an
dan Al-Hadist,
lana a’maluna wa lakum a’malukum.
Wallahu ‘alam
By: Mas
Kholik Ae
Referensi:
-
Riadus solihin;
-
http//:Zikr.org;
No comments:
Post a Comment